PERASAAN DAN PENGALAMAN SEBAGAI DASAR BERAGAMA: MEMAHAMI SEJARAH PEMIKIRAN FRIEDRICH SCHLEIERMACHER
“PERASAAN” DAN
“PENGALAMAN” SEBAGAI DASAR BERAGAMA:
MEMAHAMI SEJARAH
PEMIKIRAN FRIEDRICH SCHLEIERMACHER
A. Pengantar
Melihat pokok yang akan dibahas
dalam tulisan sederhana ini, dapat dimengerti apabila kita yang hidup di zaman
sekarang ini akan bertanya: “Apakah yang menyebabkan kita untuk mempelajari
sejarah pemikiran para teolog pada abad ke 19-20? Apa
gunanya kita memahami sejarah pemikiran tokoh-tokoh masa lampau? Mengapa kita
perlu memberikan perhatian pada pokok ini?”. Pertanyaan ini dapat dijawab
secara singkat sebagai berikut. Aspek historis mendapat perhatian karena kita
semua sangat dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam
sejarah sebelum kita. Hal ini berlaku bagi setiap manusia, juga dalam
hubungannya dengan agama. Iman kita dipengaruhi oleh sejarah individu dan
masyarakat yang mendahului kita. Mereka membaca dan menginterpretasi Alkitab dari
perspektif tertentu dan mengemukakan nilai-nilai Kristen. Jadi, pemikiran,
tradisi, dan sikap kita merupakan “hasil” bentukan sejarah yang mendahului
kita. Dengan mempelajari sejarah, kita akan mengerti segi-segi tertentu dari
ilmu teologi[1]
secara lebih mendalam, sekaligus belajar dari hikmat teologis para pendahulu
kita.
Untuk proses itu, dalam tulisan ini
penulis berupaya untuk memahami sejarah pemikiran Friedrich Schleiermacher.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan riwayat hidup singkat,
pokok-pokok ajaran dan memberi tanggapan terhadap teologinya. Demi tercapainya
tujuan dan runtutnya penulisan, maka sistematika yang digunakan adalah pengantar,
yang berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan; pembahasan,
yang meliputi riwayat hidup singkat, teologinya dan tanggapan penulis; penutup, yang terdiri dari kesimpulan
dan saran.
B.
Memahami Sejarah Pemikiran Friedrich Schleiermacher
B.1.
Riwayat Hidup Singkat
Friedrich Schleiermacher
(selanjutnya disebut Friedrich) adalah seorang teolog yang sangat terkemuka
pada abad ke-19. Ia dilahirkan pada tahun 1768 di Breslau, Silesia, Jerman.
Ayahnya adalah seorang pendeta aliran Calvinis[2]
dan ibunya adalah seorang yang sangat saleh. Orang
tuanya yang menganut aliran kesucian (pietisme)[3]
menyekolahkannya di seminari Moravia. Ia dibesarkan dalam tradisi
pietisme.[4]
Friedrich melanjutkan pendidikannya di Universitas Halle, pada tahun 1787.
Disana ia membaca karya Imanuel Kant yang terus mempengaruhinya dikemudian
hari.[5]
Pada waktu itu, universitas Halle melarang mahasiswanya untuk membaca
tulisan-tulisan Imanuel Kant, namun ia membacanya secara sembunyi dengan resiko
ia dapat dikeluarkan jika kedapatan.[6]
Pada tahun 1794 Friedrich ditahbiskan
menjadi pendeta dan ia bekerja pada rumah sakit “Kharitas” di Berlin. Disini ia
menjadi anggota kelompok kaum intelektual muda, yang menentang teologi yang
orthodoks.[7]
Tahun 1804 ia menjadi pendeta di Pomerania dan menjadi guru besar pada
universitas Halle. Selanjutnya, pada tahun 1809, ia meninggalkan Halle dan
pergi ke Berlin, dimana ia diangkat menjadi guru besar dan dekan fakultas
teologi pada universitas Berlin. Disamping itu, ia juga menjadi pendeta pada suatu jemaat
Calvinis. Kedua tugas ini dikerjakannya sampai ia meninggal pada tahun 1834.[8] Friedrich dapat disebut sebagai bapak dari teologi modern, karena ia
yang mula-mula, secara sistematis, memikirkan pertanyaan-pertanyaan teologi
yang sebelumnya selalu coba dihindari oleh gereja.[9]
B.2. Pokok-pokok Pikiran Penting (Teologi) dari Friedrich
Pemikiran-pemikiran
teologi Friedrich, dapat kita temukan melalui dua buku utamanya, yaitu Speeches on Religion dan The Christian Faith. Buku The Christian Faith ditujukan untuk
orang Kristen, sedangkan Speeches on
Religion ditujukan untuk masyarakat non-Kristen.[10]
Adapun beberapa pokok pikiran penting dari Friedrich, adalah sebagai berikut:
B.2.1. Inti pergumulan Teologi
Friedrich
menggumuli masalah teologi, pada saat ia bertugas di Berlin. Dimana ia bergaul
secara luas dalam kalangan intelektual yang mempunyai konsepsi negatif tentang
agama. Adanya pergumulan yang hebat di sekitar pendekatan pencerahan.[11]
Akal dipandang sebagai terang yang membimbing manusia. Ada
suasana optimis bahwa melalui akal budi, umat manusia akan makin maju. Ajaran-ajaran
agama mulai diperiksa secara kritis. Apakah ajaran-ajaran itu dapat
dipertahankan di hadapan akal manusia?[12]
Pertanyaan yang paling utama adalah “Apakah orang Kristen masih bisa
mempertahankan imannya atas Allah, di tengah zaman di mana manusia lebih
mempercayai pengalaman dan persepsi inderanya sendiri daripada asumsi atas
hal-hal metafisik yang spekulatif?”.[13]
Ditengah
situasi pergumulan itu, Friedrich berusaha mencari jalan tengah. Ia tidak mau
mengambil jalan untuk kembali kepada teks kitab suci dan juga tidak mengambil
akal sebagai dasar pembicaraannya mengenai agama. Tanpa menolak begitu saja
paradigma pencerahan, ia mempertahankan peranan “perasaan” dan “pengalaman”
dalam kajian iman dan teologi. Akar iman bukan dalam akal, melainkan dalam
kesadaran religius.[14]
B.2.2.
Inti Agama atau Human Consciousness
Bagi Friedrich, agama bukanlah
terdiri dari sejumlah ajaran atau preposisi intelektual yang kepadanya manusia
menyatakan persetujuannya, tetapi agama lahir dari pengalaman dan perasaan
keagamaan (human Consciousness).
Dalam hal ini, ia tidak menggunakan perasaan untuk menunjukkan perasaan seperti
rasa sakit atau pusing, tetapi secara lebih luas menunjuk pada pengalaman atau
kesadaran religius. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kesadaran diri ini
sebagai suatu perasaan ketergantungan mutlak, yang ketika dialami diakui
sebagai suatu kebergantungan pada Allah.[15]
Hanya perasaan akan ketergantungan yang tanpa syarat atau mutlak itulah yang
mewujudkan hakikat kesalehan dari agama.[16]
Ia yakin bahwa perasaan kebergantungan sama pada semua agama dan tujuan agama
pada akhirnya adalah membawa manusia dalam hubungan yang harmonis dengan Allah.[17]
B.2.3.
Allah
Pemikiran teologi Friedrich
tentang Allah didasarkan pada prasangka bahwa antara manusia dan Allah ada gap
atau jurang pemisah yang tidak mungkin dapat dijembatani oleh manusia. Allah
tidak mungkin menjadi Allah, jikalau Ia menyatakan diri-Nya melalui hal-hal
yang supranatural, misalnya keajaiban-keajaiban.[18]
Allah tidak mungkin dapat dikenal oleh manusia jikalau kehadiran dan penyataan
diri-Nya ada di seberang daya kemampuan pemahaman dan persepsi manusia.[19]
Manusia tidak mempunyai pengetahuan yang obyektif tentang Allah. Manusia
mengetahui Allah dalam perasaan kebergantungan yang absolut kepada Allah.[20]
Kehadiran Allah sangat bergantung pada pengalaman keagamaan manusia. Keberadaan
Allah hanya dapat dikenal melalui perenungan atau meditasi. Bagi Friedrich,
kesalahan gereja yang utama adalah menyaksikan dalam bentuk formulasi
doktrin-doktrin tentang tabiat dari Allah, padahal keberadaan Allah hanya dapat
dialami secara batiniah melalui perasaan.[21]
B.2.4.
Yesus Kristus dan Penebusan
Friedrich mengajarkan bahwa
Yesus Kristus adalah manusia tetapi seorang manusia yang unik. Keunikannya
terletak pada kesadaran atau perasaan akan Allah yang belum pernah dimiliki
oleh seorang manusia. Meskipun perasaan akan Allah itu harus dianggap sebagai
suatu “unsur yang esensial dalam hakikat manusia”, Fredrich menemukan contohnya
yang sempurna dalam diri Yesus Kristus.[22]
Kesempurnaan Yesus Kristus hanya mungkin karena Allah hadir di dalam diri-Nya.
Yesus Kristus disebut sebagai Anak Allah, karena di dalam diri-Nya perasaan
batiniah akan Allah dapat berkembang dan mencapai kepenuhannya.[23]
Sebab itu, Yesus Kristus adalah manusia dan ilahi. Yesus Kristus bukan hanya
seorang guru moral,[24]
melainkan Ia memperkuat kesadaran religius manusia, sehingga Ia dapat
menyelamatkan manusia. Oleh karena kemurnian dan kesadaran akan Allah, Yesus
Kristus disebut Perantara dan Penebus.[25]
Perasaan kebergantungan akan Allah dalam diri manusia pertama-tama tidak
memadai dan tidak mempunyai kekuatan, tetapi melalui Yesus Kristus kesadaran
akan Allah itu secara terus-menerus memperluas otoritasnya dan membuktikan
kekuatannya untuk membawa perdamaian dan kebahagiaan kepada manusia.[26]
Friedrich memahami dunia dan
manusia sebagai ciptaan Allah yang pada mulanya adalah baik. Dosa adalah
perasaan kebergantungan manusia pada dirinya sendiri dan bukan kepada Allah.
Karena dosa manusia menjadi asing dan takut kepada Allah. Tetapi, disana
terjadi pengalaman dan kesadaran religius mengenai penebusan. Pengalaman
penebusan itu adalah tujuan Allah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana penciptaan-Nya. Dalam penebusan nampaklah kasih Allah. Pengalaman
penebusan oleh tiap individu melibatkan respons dalam iman dan kasih, yang akan
melahirkan pembenaran dan penyucian. Penebusan itu hanyalah melalui Yesus
Kristus dan dalam Yesus Kristus manusia mencapai hakekat kemanusiaannya.[27]
B.2.5.
Manusia
Friedrich percaya bahwa manusia
adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah
makhluk yang berdosa. Manusia adalah makhluk yang sempurna dalam pengertian
bahwa “setiap” manusia mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan Allah dan
“dapat” mengkomunikasikan kesadaran tersebut kepada sesamanya. Namun, manusia
juga adalah manusia yang berdosa, di mana sebelum perasaan keagamaan
berkembang, kuasa dagingnya sudah melumpuhkan segala keinginan baik manusia.
Jadi, menurut Friedrich, perasaan batiniah dari manusia merupakan bagian dari
proses perkembangannya secara alamiah. Bakat untuk mengenal dan
bersekutu dengan Allah tumbuh sebagai bagian dari proses kematangan pribadi.
Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa anak kecil belum mempunyai perasaan dan
pengalaman religius.
B.2.6. Gereja dan Agama
Pemikiran
Friedrich memahami Roh Kudus sebatas kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam persekutuan orang-orang percaya,
yaitu gereja.[28]
Baginya, gereja cuma merupakan wujud dari salah satu agama yang punya keunikan
tersendiri. Keunikan gereja terletak dalam semangatnya mendemonstrasikan
persekutuan dan kesatuan antar anggotanya secara murni. Suatu manifestasi yang
hanya terjadi oleh karena gereja adalah bagian dari agama yang positif dan
benar.[29]
Selanjutnya, Friedrich memahami agama
dalam dua kategori, yaitu agama yang positif dan agama yang negatif atau palsu.
Agama yang benar adalah agama yang menerima bentuknya (identitasnya,
tradisinya, hukum-hukumnya) hanya dari inti agama yaitu “bagaimana secara
esensial Allah dan manusia dapat bersekutu.” Segala sesuatu yang ada dalam
agama tersebut haruslah merupakan perasaan dan pengalaman religius. Meskipun
demikian, Friedrich menegaskan bahwa kekristenan lebih dari semua agama positif
manapun juga. Alasannya, karena Yesus Kristus telah memberikan contoh atau
model yang sempurna tentang bagaimana inti agama yang positif (lihat bagian B.2.4).[30]
B.2.7. Alkitab
Alkitab
tidak berbeda dari kumpulan formulasi doktrin-doktrin yang dibuat gereja-gereja
zaman ini, yang cuma merupakan manifestasi kebudayaan dan hasil dari pergumulan
manusia pada zamannya.[31]
Menurut Friedrich, Alkitab merupakan berita-berita dari mereka yang memiliki
pengalaman religius itu. Artinya Alkitab lebih diperlakukan sebagai riwayat
pengalaman religius manusia.[32]
C. Tanggapan Penulis terhadap Pokok-pokok Pikiran
Friedrich
Pendekatan
Friedrich yang menitikberatkan peranan perasaan dan pengalaman sebagai dasar
beragama, tentunya terlalu subyektif. Bagaimana orang yang beragama dengan
menekankan perasaan dan pengalaman ini bisa ditemukan? Bagaimana memisahkan
antara yang beragama dengan sempurna dan munafik? Pandangannya juga memberi
indikasi bahwa ia adalah seorang mistikus, dalam arti ia beranggapan bahwa
manusia mampu memiliki kesadaran yang langsung mengenai Allah, yang dikaitkan
dengan kesadaran diri. Menurut penulis, pandangan teologis seperti ini
berbahaya. Karena manusia hanya dapat mengenal tindakan Allah jika Allah
berkenan menyatakan diri. Penyataan Allah ini terjadi tidak menuruti perasaan
dan akal manusia, dan “tidak pernah timbul dalam hati manusia” (bnd. 1 Kor.
2:9). Ada perbedaan mutlak, dan bukan kesinambungan , antara pikiran dan sifat
Allah dengan pikiran dan sifat manusia (bnd. Yes. 55:8,9).[33]
Seharusnya, bukan manusia yang mencari Allah, melainkan Allah yang mencari
manusia.
Pandangan
Friedrich tentang Yesus Kristus, lebih menunjukkan sebuah pendekatan historis (baca: Yesus sejarah), yang memulai
dengan kemanusiaan-Nya dan kemudian ia bertanya bagaimana caranya Ia menjadi
Allah! Baginya, proses menjadi Allah ini, hanya dimungkinkan karena Allah hadir
di dalam diri-Nya. Menurut penulis, kelemahan Friedrich dalam memahami Yesus
Kristus yaitu tidak diberinya porsi terhadap peristiwa kebangkitan dan kenaikan
Yesus Kristus ke sorga. Kedua peristiwa ini sungguh-sungguh memberi gambaran
dari tabiat Yesus Kristus sebagai Yang Ilahi (baca: tabiat Allah). Pemahaman
Friedrich, yang mengabaikan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke
sorga, pada gilirannya akan membawa pandangan rendah terhadap pribadi Yesus
Kristus.
Gagasan Friedrich mengenai manusia,
khususnya yang menyangkut dengan konsepsi bahwa anak kecil belum mempunyai
kesadaran religius, tentunya penulis kurang menyetujuinya. Karena, bagaimana
kita menjelaskan kesaksian Alkitab tentang keselamatan yang terjadi semata-mata
oleh anugerah (Ef. 2:8-9), dan pernyataan Rasul Paulus mengenai Timotius yang
“sudah” mengenal kebenaran sejak kecil (2 Tim. 3:15). Apakah ada perbedaan
hakiki antara orang dewasa dan anak-anak di dalam soal keselamatan?.
Pemikiran Friedrich yang memahami Roh
Kudus sebatas kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam gereja,
tentunya penulis kurang setuju. Alasannya pemikiran ini cenderung untuk
menanggapi Roh Kudus sekedar sebagai alat. Roh Kudus merupakan Roh Allah dan
Roh Kristus sendiri. Roh Kudus tidak hanya berkarya di dalam gereja saja,
tetapi berkarya diluar gereja. Roh Kudus tidak mungkin dikotakkan dan dibatasi
perannya, seakan-akan Ia hanya punya sangkut paut di dalam gereja. Kehadiran
dan karya Roh Kudus melintasi batas-batas gereja.[34]
Kita perlu melihat karya Roh Kudus dalam setiap situasi. Situasi dimana orang-orang
mengusahakan kebaikan, memperjuangkan kebebasan, memerangi kemiskinan,
mengusahakan terwujudnya cinta kasih, melestarikan lingkungan hidup dan
beribadah kepada Allah. Selain itu, pemikiran Friedrich bahwa gereja merupakan
bagian dari agama yang benar dan kekristenan lebih dari semua agama, perlu
direnungkan secara berhati-hati. Karena, gereja dan kekristenan akan menganggap
diri lebih unggul (baca: superioritas) dari yang lain. Hal ini berbahaya bila
diteruskan dalam kehidupan bersama. Seharusnya gereja perlu mengembangkan
sikap toleransi dan menghargai
eksistensi dari agama apapun juga.
Pemahaman
Friedrich mengenai Alkitab sebagai riwayat pengalaman religius manusia,
tentunya masih harus dipertanyakan. Karena Alkitab seyogianya dipahami sebagai
penyataan dari Allah ataupun riwayat tentang tindakan-tindakan Allah dalam
sejarah. Sehingga, lebih penting untuk menilai pengalaman religius berdasarkan
Alkitab sebagai tolak ukur, daripada mengukur dan menyesuaikan ajaran menurut
pengalaman.
Terlepas
dari tanggapan penulis di atas, Friedrich telah berupaya mencari konsep agama
yang sesuai dengan “selera” zamannya. Ia telah berusaha memberi jawaban di
tengah situasi pergumulan yang hebat disekitar pendekatan pencerahan, yang
mempertanyakan ajaran-ajaran agama.
D. Penutup
D.1. Kesimpulan
Berdasarkan
apa yang telah diuraikan dalam riwayat hidup dan pokok-pokok pikiran penting
dari Friedrich, maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagai
berikut:
1. Friedrich dapat disebut sebagai bapak dari teologi
modern, karena ia yang mula-mula, secara sistematis, memikirkan
pertanyaan-pertanyaan teologi yang sebelumnya selalu coba dihindari oleh
gereja. Pertanyaan yang paling utama adalah “apakah orang Kristen masih bisa
mempertahankan imannya atas Allah, di tengah zaman di mana manusia lebih
mempercayai pengalaman dan persepsi inderanya sendiri daripada asumsi atas
hal-hal metafisik yang spekulatif?”.
2. Pemikiran dari Friedrich sangat dipengaruhi oleh
aliran pietisme dari orang tuanya, dan setelah membaca karya Imanuel Kant,
menyebabkan ia bereaksi terhadap paham kesucian, sehingga ia menggabungkan pengalaman
agama (pietisme) dengan pemikiran liberalis (pendekatan pencerahan).
3. Friedrich membuat pembedaan yang jelas antara agama
dan akal. Menurutnya, akar iman bukan
dalam akal, melainkan dalam kesadaran religius. Dimana ia mempertahankan peranan
perasaan dan pengalaman dalam kajian iman dan teologi.
4. Teologi dari Friedrich yang menekankan pada rasa,
turut memberi warna dalam pokok-pokok pikirannya mengenai Allah, Yesus Kristus
dan penebusan, manusia, gereja dan agama, serta Alkitab.
D.2. Saran
Untuk kita
yang hidup pada zaman sekarang ini, kiranya bersedia belajar terus menerus dari
sejarah. Artinya kita perlu menggali, menyelidiki dan mengungkapkan apa yang
terjadi pada masa lalu, untuk dijadikan cermin dan bahan pelajaran:
mengembangkan pandangan-pandangan yang baik dan tidak mengulangi kesalahan yang
sama. Tugas dari kita yang belajar sejarah adalah untuk terus mengingat dan
mengenang; sebab dari berbagai hal buruk pun kita bisa belajar banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Jan S., Berbagai
Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.
Drewes, B.F., Apa
itu Teologi? Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2005.
Hadiwijono, Harun, Teologi
Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000.
_______________
, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2001.
Hale, Leonard, Jujur
Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja-gereja
Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996.
Herlianto,
Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini?, Bandung:
YABINA, 1997.
Lane, Tony, Runtut
Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993.
Rumpak, Nazarius, Masa
Roh Kudus dan Kasih Karunia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.
Soedarmo,
R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2002.
Susabda, Yakub B., Teologi
Modern 1, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1999.
Steenbrink, Karel A., Perkembangan
Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987.
Urban, Linwood, Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.
Wellem, F.D., Riwayat
Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2000.
[1] Ilmu teologi adalah bidang
studi ilmiah yang melayani gereja yang diutus ke dalam dunia, dalam usahanya
untuk memahami dan menghayati karya Allah yang hidup. Lihat B.F. Drewes, Apa itu Teologi? Pengantar ke Dalam Ilmu
Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005, hlm. 17.
[2]
Aliran Calvinis merupakan aliran gereja yang setia pada garis ajaran Johannes
Calvin. Di lingkungan gereja-gereja Protestan sedunia, aliran Calvinis lebih
sering disebut reformed ataupun
presbyterian. Penjelasan yang lebih
akurat mengenai aliran Cavinis, lihat Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2003, hlm. 52-80.
[3]
Pietisme adalah semangat atau gerakan kesalehan yang muncul sejak abad ke-17.
Para penganutnya kecewa terhadap gereja-gereja yang semakin melembaga, semakin
menjadi gereja-negara, serta semakin baku dan kaku dengan ajarannya yang sangat
bersifat intelektualitas. Mereka ingin kembali pada kehangatan persaudaraan,
pengalaman rohani, kesederhanaan pemahaman atas Alkitab, dan pemeliharaan
nilai-nilai moral/kesucian hidup. Lihat ibid.,
hlm. 15-16. Lihat juga Leonard Hale, Jujur
Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja-gereja
Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996, hlm. 13-15.
[4]Tony
Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran
Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 196. Menarik bahwa
sekalipun Friedrich dibesarkan dalam tradisi pietisme, namun ajaran pietisme
tidak dapat ia terima. Hal ini juga menjadi alasan, sehingga ia meninggalkan
seminari Moravia untuk melanjutkan studinya di universitas Halle.
[5]
Imanuel Kant (akhir abad ke-18), yang di dalam bukunya “Religi dalam
Batas-batas Rasio Murni-1793”, mengemukakan bahwa agama itu muncul karena
adanya hukum moralitas pada manusia. Menurut Kant, pada manusia terdapat
perintah yang mengharuskan orang berbuat hanya demi perintah itu, tanpa
menanyakan untuk apa melakukan perintah itu. Tetapi dalam praktiknya, orang
tidak dapat memenuhi perintah itu. Pemenuhan perintah itu yang secara sempurna
hanya mungkin jika ada pertolongan dari Allah. Pertolongan ini memang ada,
sebab Allah menghendaki supaya manusia memperoleh kebahagiaan. Berdasarkan
keyakinan yang demikian itu, Kant menolak anggapan bahwa beragama berarti
menyetujui dogma-dogma gereja sebagai kebenaran yang mutlak. Agama bukanlah
soal akal, melainkan soal perbuatan. Lihat Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke-20, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 9. Selain itu, dalam bukunya “Apakah Pencerahan
itu?”, Kant menekankan keyakinan manusia akan kemampuan akal budinya untuk
menghayati dunia materi dan ketidaksahilannya menyangkut hal-hal diluar itu.
Baginya, pencerahan adalah bangunnya manusia dari ketidakdewasaan dari
ketergantungannya pada wibawa di luar dirinya dan keengganan manusia untuk
menggunakan pengertiannya sendiri. Lihat Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini?, Bandung: YABINA, 1997, hlm.
20-21.
[6]
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm.
221-222.
[7]
Istilah orthodoks berasal dari bahasa
Yunani, orthos (lurus) dan dogma (ajaran). Jadi, aliran atau
pandangan yang orthodoks berpegangan
pada Alkitab, tanpa kritik yang mengurangi kebenaran Alkitab. Lihat R.
Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2002, hlm. 61.
[8] F. D. Wellem, op.cit., hlm. 222. Lihat juga Tony Lane,
op.cit., hlm. 196.
[9] Yakub B. Susabda, Teologi Modern 1, Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1999, hlm. 10
[10] Ibid., hlm. 19.
[11]
Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi
Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987, hlm. 19.
[12] Bnd. B.F. Drewes, op.cit., hlm. 53.
[13] Yakub B. Susabda, Teologi Modern 1, Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1999, hlm. 10.
[14] Karel A. steenbrink, op.cit., hlm. 21.
[15] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 278.
[16] Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 14.
[17] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 222.
[18] Friedrich tidak percaya bahwa
mujizat yang disaksikan Alkitab, misalnya kelahiran dari anak dara, kematian
dan kebangkitan benar-benar terjadi. Kalaupun benar-benar terjadi,
maka hal-hal tersebut tidak menyebabkan manusia percaya atau mengenal Allah.
[19]
Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 20.
[20] Tony Lane, op.cit., hlm. 198.
[21] Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 24.
[22] Linwood Urban, op.cit., hlm. 279.
[23] Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 28.
[24] Sebagai guru moral, Yesus
Kristus hanya dilihat sebagai seorang guru yang mengajarkan ajaran yang
benar.
[25] Karel A. Steenbrink, op.cit., hlm. 23.
[26] Linwood Urban, op.cit., hlm. 279.
[27] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 222.
[28] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 223.
[29] Yakub B. Susabda, op.cot., hlm. 24-25.
[30] Ibid., hlm. 25-26.
[31] Ibid., hlm. 15.
[32] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 223.
[33] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2001, hlm. 29.
[34] Bnd. Nazarius Rumpak, Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 11-12.
Woow...padat banget ya bu...
BalasHapus