PERASAAN DAN PENGALAMAN SEBAGAI DASAR BERAGAMA: MEMAHAMI SEJARAH PEMIKIRAN FRIEDRICH SCHLEIERMACHER

“PERASAAN” DAN “PENGALAMAN” SEBAGAI DASAR BERAGAMA:
MEMAHAMI SEJARAH PEMIKIRAN FRIEDRICH SCHLEIERMACHER


A. Pengantar
Melihat pokok yang akan dibahas dalam tulisan sederhana ini, dapat dimengerti apabila kita yang hidup di zaman sekarang ini akan bertanya: “Apakah yang menyebabkan kita untuk mempelajari sejarah pemikiran para teolog pada abad ke 19-20? Apa gunanya kita memahami sejarah pemikiran tokoh-tokoh masa lampau? Mengapa kita perlu memberikan perhatian pada pokok ini?”. Pertanyaan ini dapat dijawab secara singkat sebagai berikut. Aspek historis mendapat perhatian karena kita semua sangat dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam sejarah sebelum kita. Hal ini berlaku bagi setiap manusia, juga dalam hubungannya dengan agama. Iman kita dipengaruhi oleh sejarah individu dan masyarakat yang mendahului kita. Mereka membaca dan menginterpretasi Alkitab dari perspektif tertentu dan mengemukakan nilai-nilai Kristen. Jadi, pemikiran, tradisi, dan sikap kita merupakan “hasil” bentukan sejarah yang mendahului kita. Dengan mempelajari sejarah, kita akan mengerti segi-segi tertentu dari ilmu teologi[1] secara lebih mendalam, sekaligus belajar dari hikmat teologis para pendahulu kita.
          Untuk proses itu, dalam tulisan ini penulis berupaya untuk memahami sejarah pemikiran Friedrich Schleiermacher. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan riwayat hidup singkat, pokok-pokok ajaran dan memberi tanggapan terhadap teologinya. Demi tercapainya tujuan dan runtutnya penulisan, maka sistematika yang digunakan adalah pengantar, yang berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan; pembahasan, yang meliputi riwayat hidup singkat, teologinya dan tanggapan penulis; penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
  
B. Memahami Sejarah Pemikiran Friedrich Schleiermacher
B.1. Riwayat Hidup Singkat
Friedrich Schleiermacher (selanjutnya disebut Friedrich) adalah seorang teolog yang sangat terkemuka pada abad ke-19. Ia dilahirkan pada tahun 1768 di Breslau, Silesia, Jerman. Ayahnya adalah seorang pendeta aliran Calvinis[2] dan ibunya adalah seorang yang sangat saleh. Orang tuanya yang menganut aliran kesucian (pietisme)[3] menyekolahkannya di seminari Moravia. Ia dibesarkan dalam tradisi pietisme.[4] Friedrich melanjutkan pendidikannya di Universitas Halle, pada tahun 1787. Disana ia membaca karya Imanuel Kant yang terus mempengaruhinya dikemudian hari.[5] Pada waktu itu, universitas Halle melarang mahasiswanya untuk membaca tulisan-tulisan Imanuel Kant, namun ia membacanya secara sembunyi dengan resiko ia dapat dikeluarkan jika kedapatan.[6]
          Pada tahun 1794 Friedrich ditahbiskan menjadi pendeta dan ia bekerja pada rumah sakit “Kharitas” di Berlin. Disini ia menjadi anggota kelompok kaum intelektual muda, yang menentang teologi yang orthodoks.[7] Tahun 1804 ia menjadi pendeta di Pomerania dan menjadi guru besar pada universitas Halle. Selanjutnya, pada tahun 1809, ia meninggalkan Halle dan pergi ke Berlin, dimana ia diangkat menjadi guru besar dan dekan fakultas teologi pada universitas Berlin. Disamping itu, ia juga menjadi pendeta pada suatu jemaat Calvinis. Kedua tugas ini dikerjakannya sampai ia meninggal pada tahun 1834.[8] Friedrich dapat disebut sebagai bapak dari teologi modern, karena ia yang mula-mula, secara sistematis, memikirkan pertanyaan-pertanyaan teologi yang sebelumnya selalu coba dihindari oleh gereja.[9]

B.2. Pokok-pokok Pikiran Penting (Teologi) dari Friedrich
Pemikiran-pemikiran teologi Friedrich, dapat kita temukan melalui dua buku utamanya, yaitu Speeches on Religion dan The Christian Faith. Buku The Christian Faith ditujukan untuk orang Kristen, sedangkan Speeches on Religion ditujukan untuk masyarakat non-Kristen.[10] Adapun beberapa pokok pikiran penting dari Friedrich, adalah sebagai berikut:

B.2.1. Inti pergumulan Teologi
Friedrich menggumuli masalah teologi, pada saat ia bertugas di Berlin. Dimana ia bergaul secara luas dalam kalangan intelektual yang mempunyai konsepsi negatif tentang agama. Adanya pergumulan yang hebat di sekitar pendekatan pencerahan.[11] Akal dipandang sebagai terang yang membimbing manusia. Ada suasana optimis bahwa melalui akal budi, umat manusia akan makin maju. Ajaran-ajaran agama mulai diperiksa secara kritis. Apakah ajaran-ajaran itu dapat dipertahankan di hadapan akal manusia?[12] Pertanyaan yang paling utama adalah “Apakah orang Kristen masih bisa mempertahankan imannya atas Allah, di tengah zaman di mana manusia lebih mempercayai pengalaman dan persepsi inderanya sendiri daripada asumsi atas hal-hal metafisik yang spekulatif?”.[13]
          Ditengah situasi pergumulan itu, Friedrich berusaha mencari jalan tengah. Ia tidak mau mengambil jalan untuk kembali kepada teks kitab suci dan juga tidak mengambil akal sebagai dasar pembicaraannya mengenai agama. Tanpa menolak begitu saja paradigma pencerahan, ia mempertahankan peranan “perasaan” dan “pengalaman” dalam kajian iman dan teologi. Akar iman bukan dalam akal, melainkan dalam kesadaran religius.[14]

B.2.2. Inti Agama atau Human Consciousness
Bagi Friedrich, agama bukanlah terdiri dari sejumlah ajaran atau preposisi intelektual yang kepadanya manusia menyatakan persetujuannya, tetapi agama lahir dari pengalaman dan perasaan keagamaan (human Consciousness). Dalam hal ini, ia tidak menggunakan perasaan untuk menunjukkan perasaan seperti rasa sakit atau pusing, tetapi secara lebih luas menunjuk pada pengalaman atau kesadaran religius. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kesadaran diri ini sebagai suatu perasaan ketergantungan mutlak, yang ketika dialami diakui sebagai suatu kebergantungan pada Allah.[15] Hanya perasaan akan ketergantungan yang tanpa syarat atau mutlak itulah yang mewujudkan hakikat kesalehan dari agama.[16] Ia yakin bahwa perasaan kebergantungan sama pada semua agama dan tujuan agama pada akhirnya adalah membawa manusia dalam hubungan yang harmonis dengan Allah.[17]

B.2.3. Allah
Pemikiran teologi Friedrich tentang Allah didasarkan pada prasangka bahwa antara manusia dan Allah ada gap atau jurang pemisah yang tidak mungkin dapat dijembatani oleh manusia. Allah tidak mungkin menjadi Allah, jikalau Ia menyatakan diri-Nya melalui hal-hal yang supranatural, misalnya keajaiban-keajaiban.[18] Allah tidak mungkin dapat dikenal oleh manusia jikalau kehadiran dan penyataan diri-Nya ada di seberang daya kemampuan pemahaman dan persepsi manusia.[19] Manusia tidak mempunyai pengetahuan yang obyektif tentang Allah. Manusia mengetahui Allah dalam perasaan kebergantungan yang absolut kepada Allah.[20] Kehadiran Allah sangat bergantung pada pengalaman keagamaan manusia. Keberadaan Allah hanya dapat dikenal melalui perenungan atau meditasi. Bagi Friedrich, kesalahan gereja yang utama adalah menyaksikan dalam bentuk formulasi doktrin-doktrin tentang tabiat dari Allah, padahal keberadaan Allah hanya dapat dialami secara batiniah melalui perasaan.[21]

B.2.4. Yesus Kristus dan Penebusan
Friedrich mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah manusia tetapi seorang manusia yang unik. Keunikannya terletak pada kesadaran atau perasaan akan Allah yang belum pernah dimiliki oleh seorang manusia. Meskipun perasaan akan Allah itu harus dianggap sebagai suatu “unsur yang esensial dalam hakikat manusia”, Fredrich menemukan contohnya yang sempurna dalam diri Yesus Kristus.[22] Kesempurnaan Yesus Kristus hanya mungkin karena Allah hadir di dalam diri-Nya. Yesus Kristus disebut sebagai Anak Allah, karena di dalam diri-Nya perasaan batiniah akan Allah dapat berkembang dan mencapai kepenuhannya.[23] Sebab itu, Yesus Kristus adalah manusia dan ilahi. Yesus Kristus bukan hanya seorang guru moral,[24] melainkan Ia memperkuat kesadaran religius manusia, sehingga Ia dapat menyelamatkan manusia. Oleh karena kemurnian dan kesadaran akan Allah, Yesus Kristus disebut Perantara dan Penebus.[25] Perasaan kebergantungan akan Allah dalam diri manusia pertama-tama tidak memadai dan tidak mempunyai kekuatan, tetapi melalui Yesus Kristus kesadaran akan Allah itu secara terus-menerus memperluas otoritasnya dan membuktikan kekuatannya untuk membawa perdamaian dan kebahagiaan kepada manusia.[26]
Friedrich memahami dunia dan manusia sebagai ciptaan Allah yang pada mulanya adalah baik. Dosa adalah perasaan kebergantungan manusia pada dirinya sendiri dan bukan kepada Allah. Karena dosa manusia menjadi asing dan takut kepada Allah. Tetapi, disana terjadi pengalaman dan kesadaran religius mengenai penebusan. Pengalaman penebusan itu adalah tujuan Allah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana penciptaan-Nya. Dalam penebusan nampaklah kasih Allah. Pengalaman penebusan oleh tiap individu melibatkan respons dalam iman dan kasih, yang akan melahirkan pembenaran dan penyucian. Penebusan itu hanyalah melalui Yesus Kristus dan dalam Yesus Kristus manusia mencapai hakekat kemanusiaannya.[27]

B.2.5. Manusia
Friedrich percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa. Manusia adalah makhluk yang sempurna dalam pengertian bahwa “setiap” manusia mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan Allah dan “dapat” mengkomunikasikan kesadaran tersebut kepada sesamanya. Namun, manusia juga adalah manusia yang berdosa, di mana sebelum perasaan keagamaan berkembang, kuasa dagingnya sudah melumpuhkan segala keinginan baik manusia. Jadi, menurut Friedrich, perasaan batiniah dari manusia merupakan bagian dari proses perkembangannya secara alamiah. Bakat untuk mengenal dan bersekutu dengan Allah tumbuh sebagai bagian dari proses kematangan pribadi. Akhirnya, ia berkesimpulan bahwa anak kecil belum mempunyai perasaan dan pengalaman religius.

B.2.6. Gereja dan Agama
Pemikiran Friedrich memahami Roh Kudus sebatas kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam persekutuan orang-orang percaya, yaitu gereja.[28] Baginya, gereja cuma merupakan wujud dari salah satu agama yang punya keunikan tersendiri. Keunikan gereja terletak dalam semangatnya mendemonstrasikan persekutuan dan kesatuan antar anggotanya secara murni. Suatu manifestasi yang hanya terjadi oleh karena gereja adalah bagian dari agama yang positif dan benar.[29]
          Selanjutnya, Friedrich memahami agama dalam dua kategori, yaitu agama yang positif dan agama yang negatif atau palsu. Agama yang benar adalah agama yang menerima bentuknya (identitasnya, tradisinya, hukum-hukumnya) hanya dari inti agama yaitu “bagaimana secara esensial Allah dan manusia dapat bersekutu.” Segala sesuatu yang ada dalam agama tersebut haruslah merupakan perasaan dan pengalaman religius. Meskipun demikian, Friedrich menegaskan bahwa kekristenan lebih dari semua agama positif manapun juga. Alasannya, karena Yesus Kristus telah memberikan contoh atau model yang sempurna tentang bagaimana inti agama yang positif (lihat bagian B.2.4).[30]

B.2.7. Alkitab
Alkitab tidak berbeda dari kumpulan formulasi doktrin-doktrin yang dibuat gereja-gereja zaman ini, yang cuma merupakan manifestasi kebudayaan dan hasil dari pergumulan manusia pada zamannya.[31] Menurut Friedrich, Alkitab merupakan berita-berita dari mereka yang memiliki pengalaman religius itu. Artinya Alkitab lebih diperlakukan sebagai riwayat pengalaman religius manusia.[32]

C. Tanggapan Penulis terhadap Pokok-pokok Pikiran Friedrich
Pendekatan Friedrich yang menitikberatkan peranan perasaan dan pengalaman sebagai dasar beragama, tentunya terlalu subyektif. Bagaimana orang yang beragama dengan menekankan perasaan dan pengalaman ini bisa ditemukan? Bagaimana memisahkan antara yang beragama dengan sempurna dan munafik? Pandangannya juga memberi indikasi bahwa ia adalah seorang mistikus, dalam arti ia beranggapan bahwa manusia mampu memiliki kesadaran yang langsung mengenai Allah, yang dikaitkan dengan kesadaran diri. Menurut penulis, pandangan teologis seperti ini berbahaya. Karena manusia hanya dapat mengenal tindakan Allah jika Allah berkenan menyatakan diri. Penyataan Allah ini terjadi tidak menuruti perasaan dan akal manusia, dan “tidak pernah timbul dalam hati manusia” (bnd. 1 Kor. 2:9). Ada perbedaan mutlak, dan bukan kesinambungan , antara pikiran dan sifat Allah dengan pikiran dan sifat manusia (bnd. Yes. 55:8,9).[33] Seharusnya, bukan manusia yang mencari Allah, melainkan Allah yang mencari manusia.
          Pandangan Friedrich tentang Yesus Kristus, lebih menunjukkan sebuah pendekatan  historis (baca: Yesus sejarah), yang memulai dengan kemanusiaan-Nya dan kemudian ia bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah! Baginya, proses menjadi Allah ini, hanya dimungkinkan karena Allah hadir di dalam diri-Nya. Menurut penulis, kelemahan Friedrich dalam memahami Yesus Kristus yaitu tidak diberinya porsi terhadap peristiwa kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke sorga. Kedua peristiwa ini sungguh-sungguh memberi gambaran dari tabiat Yesus Kristus sebagai Yang Ilahi (baca: tabiat Allah). Pemahaman Friedrich, yang mengabaikan peristiwa kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus ke sorga, pada gilirannya akan membawa pandangan rendah terhadap pribadi Yesus Kristus.
          Gagasan Friedrich mengenai manusia, khususnya yang menyangkut dengan konsepsi bahwa anak kecil belum mempunyai kesadaran religius, tentunya penulis kurang menyetujuinya. Karena, bagaimana kita menjelaskan kesaksian Alkitab tentang keselamatan yang terjadi semata-mata oleh anugerah (Ef. 2:8-9), dan pernyataan Rasul Paulus mengenai Timotius yang “sudah” mengenal kebenaran sejak kecil (2 Tim. 3:15). Apakah ada perbedaan hakiki antara orang dewasa dan anak-anak di dalam soal keselamatan?.
          Pemikiran Friedrich yang memahami Roh Kudus sebatas kesadaran Allah dalam Yesus Kristus yang bekerja dalam gereja, tentunya penulis kurang setuju. Alasannya pemikiran ini cenderung untuk menanggapi Roh Kudus sekedar sebagai alat. Roh Kudus merupakan Roh Allah dan Roh Kristus sendiri. Roh Kudus tidak hanya berkarya di dalam gereja saja, tetapi berkarya diluar gereja. Roh Kudus tidak mungkin dikotakkan dan dibatasi perannya, seakan-akan Ia hanya punya sangkut paut di dalam gereja. Kehadiran dan karya Roh Kudus melintasi batas-batas gereja.[34] Kita perlu melihat karya Roh Kudus dalam setiap situasi. Situasi dimana orang-orang mengusahakan kebaikan, memperjuangkan kebebasan, memerangi kemiskinan, mengusahakan terwujudnya cinta kasih, melestarikan lingkungan hidup dan beribadah kepada Allah. Selain itu, pemikiran Friedrich bahwa gereja merupakan bagian dari agama yang benar dan kekristenan lebih dari semua agama, perlu direnungkan secara berhati-hati. Karena, gereja dan kekristenan akan menganggap diri lebih unggul (baca: superioritas) dari yang lain. Hal ini berbahaya bila diteruskan dalam kehidupan bersama. Seharusnya gereja perlu mengembangkan sikap  toleransi dan menghargai eksistensi dari agama apapun juga.
Pemahaman Friedrich mengenai Alkitab sebagai riwayat pengalaman religius manusia, tentunya masih harus dipertanyakan. Karena Alkitab seyogianya dipahami sebagai penyataan dari Allah ataupun riwayat tentang tindakan-tindakan Allah dalam sejarah. Sehingga, lebih penting untuk menilai pengalaman religius berdasarkan Alkitab sebagai tolak ukur, daripada mengukur dan menyesuaikan ajaran menurut pengalaman.
Terlepas dari tanggapan penulis di atas, Friedrich telah berupaya mencari konsep agama yang sesuai dengan “selera” zamannya. Ia telah berusaha memberi jawaban di tengah situasi pergumulan yang hebat disekitar pendekatan pencerahan, yang mempertanyakan ajaran-ajaran agama.

D. Penutup
D.1. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam riwayat hidup dan pokok-pokok pikiran penting dari Friedrich, maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Friedrich dapat disebut sebagai bapak dari teologi modern, karena ia yang mula-mula, secara sistematis, memikirkan pertanyaan-pertanyaan teologi yang sebelumnya selalu coba dihindari oleh gereja. Pertanyaan yang paling utama adalah “apakah orang Kristen masih bisa mempertahankan imannya atas Allah, di tengah zaman di mana manusia lebih mempercayai pengalaman dan persepsi inderanya sendiri daripada asumsi atas hal-hal metafisik yang spekulatif?”.
2. Pemikiran dari Friedrich sangat dipengaruhi oleh aliran pietisme dari orang tuanya, dan setelah membaca karya Imanuel Kant, menyebabkan ia bereaksi terhadap paham kesucian, sehingga ia menggabungkan pengalaman agama (pietisme) dengan pemikiran liberalis (pendekatan pencerahan).
3. Friedrich membuat pembedaan yang jelas antara agama dan akal.    Menurutnya, akar iman bukan dalam akal, melainkan dalam kesadaran religius. Dimana ia mempertahankan peranan perasaan dan pengalaman dalam kajian iman dan teologi.
4. Teologi dari Friedrich yang menekankan pada rasa, turut memberi warna dalam pokok-pokok pikirannya mengenai Allah, Yesus Kristus dan penebusan, manusia, gereja dan agama, serta Alkitab. 

D.2. Saran
Untuk kita yang hidup pada zaman sekarang ini, kiranya bersedia belajar terus menerus dari sejarah. Artinya kita perlu menggali, menyelidiki dan mengungkapkan apa yang terjadi pada masa lalu, untuk dijadikan cermin dan bahan pelajaran: mengembangkan pandangan-pandangan yang baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tugas dari kita yang belajar sejarah adalah untuk terus mengingat dan mengenang; sebab dari berbagai hal buruk pun kita bisa belajar banyak.








DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Jan S., Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.
Drewes, B.F., Apa itu Teologi? Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005.
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000.
_______________ , Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.
Hale, Leonard, Jujur Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja-gereja Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996.
Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini?, Bandung: YABINA, 1997.
Lane, Tony, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993.
Rumpak, Nazarius, Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.
Soedarmo, R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.
Susabda, Yakub B., Teologi Modern 1, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1999.
Steenbrink, Karel A., Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987.
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.
Wellem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000. 








                





[1] Ilmu teologi adalah bidang studi ilmiah yang melayani gereja yang diutus ke dalam dunia, dalam usahanya untuk memahami dan menghayati karya Allah yang hidup. Lihat B.F. Drewes, Apa itu Teologi? Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005, hlm. 17.
[2] Aliran Calvinis merupakan aliran gereja yang setia pada garis ajaran Johannes Calvin. Di lingkungan gereja-gereja Protestan sedunia, aliran Calvinis lebih sering disebut reformed ataupun presbyterian. Penjelasan yang lebih akurat mengenai aliran Cavinis, lihat Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 52-80.
[3] Pietisme adalah semangat atau gerakan kesalehan yang muncul sejak abad ke-17. Para penganutnya kecewa terhadap gereja-gereja yang semakin melembaga, semakin menjadi gereja-negara, serta semakin baku dan kaku dengan ajarannya yang sangat bersifat intelektualitas. Mereka ingin kembali pada kehangatan persaudaraan, pengalaman rohani, kesederhanaan pemahaman atas Alkitab, dan pemeliharaan nilai-nilai moral/kesucian hidup. Lihat ibid., hlm. 15-16. Lihat juga Leonard Hale, Jujur Terhadap Pietisme: Menilai Kembali Reputasi Pietisme dalam Gereja-gereja Indonesia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1996, hlm. 13-15. 
[4]Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 196. Menarik bahwa sekalipun Friedrich dibesarkan dalam tradisi pietisme, namun ajaran pietisme tidak dapat ia terima. Hal ini juga menjadi alasan, sehingga ia meninggalkan seminari Moravia untuk melanjutkan studinya di universitas Halle.
[5] Imanuel Kant (akhir abad ke-18), yang di dalam bukunya “Religi dalam Batas-batas Rasio Murni-1793”, mengemukakan bahwa agama itu muncul karena adanya hukum moralitas pada manusia. Menurut Kant, pada manusia terdapat perintah yang mengharuskan orang berbuat hanya demi perintah itu, tanpa menanyakan untuk apa melakukan perintah itu. Tetapi dalam praktiknya, orang tidak dapat memenuhi perintah itu. Pemenuhan perintah itu yang secara sempurna hanya mungkin jika ada pertolongan dari Allah. Pertolongan ini memang ada, sebab Allah menghendaki supaya manusia memperoleh kebahagiaan. Berdasarkan keyakinan yang demikian itu, Kant menolak anggapan bahwa beragama berarti menyetujui dogma-dogma gereja sebagai kebenaran yang mutlak. Agama bukanlah soal akal, melainkan soal perbuatan. Lihat Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad Ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 9. Selain itu, dalam bukunya “Apakah Pencerahan itu?”, Kant menekankan keyakinan manusia akan kemampuan akal budinya untuk menghayati dunia materi dan ketidaksahilannya menyangkut hal-hal diluar itu. Baginya, pencerahan adalah bangunnya manusia dari ketidakdewasaan dari ketergantungannya pada wibawa di luar dirinya dan keengganan manusia untuk menggunakan pengertiannya sendiri. Lihat Herlianto, Yesus Sejarah: Siapakah Aku Ini?, Bandung: YABINA, 1997, hlm. 20-21.
[6] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 221-222.
[7] Istilah orthodoks berasal dari bahasa Yunani, orthos (lurus) dan dogma (ajaran). Jadi, aliran atau pandangan yang orthodoks berpegangan pada Alkitab, tanpa kritik yang mengurangi kebenaran Alkitab. Lihat R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002, hlm. 61.
[8] F. D. Wellem, op.cit., hlm. 222. Lihat juga Tony Lane, op.cit., hlm. 196.
[9] Yakub B. Susabda, Teologi Modern 1, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1999, hlm. 10
[10] Ibid., hlm. 19.
[11] Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1987, hlm. 19.
[12] Bnd. B.F. Drewes, op.cit., hlm. 53.
[13] Yakub B. Susabda, Teologi Modern 1, Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1999, hlm. 10.
[14] Karel A. steenbrink, op.cit., hlm. 21.
[15] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 278.
[16] Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 14.
[17] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 222.
[18] Friedrich tidak percaya bahwa mujizat yang disaksikan Alkitab, misalnya kelahiran dari anak dara, kematian dan kebangkitan benar-benar terjadi. Kalaupun benar-benar terjadi, maka hal-hal tersebut tidak menyebabkan manusia percaya atau mengenal Allah.
[19] Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 20.
[20] Tony Lane, op.cit., hlm. 198.
[21] Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 24.
[22] Linwood Urban, op.cit., hlm. 279.
[23] Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 28.
[24] Sebagai guru moral, Yesus Kristus hanya dilihat sebagai seorang guru yang mengajarkan ajaran yang benar. 
[25] Karel A. Steenbrink, op.cit., hlm. 23.
[26] Linwood Urban, op.cit., hlm. 279.
[27] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 222.
[28] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 223.
[29] Yakub B. Susabda, op.cot., hlm. 24-25.
[30] Ibid., hlm. 25-26.
[31] Ibid., hlm. 15.
[32] F.D. Wellem, op.cit., hlm. 223.
[33] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 29.
[34] Bnd. Nazarius Rumpak, Masa Roh Kudus dan Kasih Karunia, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 11-12.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PEMIKIRAN PAUL TILLICH

Hari Pancasila dan Hari Kelahiran Mikhael:Kisah Keajaiban dan Kebahagiaan