SEJARAH PEMIKIRAN PAUL TILLICH

SEJARAH PEMIKIRAN PAUL TILLICH

A. Pengantar
Mengenal sesuatu hal tanpa melihat latar belakang dan hubungan sejarahnya akan menghasilkan pengertian yang sepotong serta tidak akan diperoleh kebenaran. Berusaha menjangkau hubungan sejarah akan dapat memberikan pengertian yang lebih kaya dan lengkap, sehingga mendapatkan makna yang sebenarnya. Peristiwa baru tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lama. Zaman yang baru merupakan kelanjutan dan produk zaman yang lama.
            Karena itu, dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk memahami sejarah pemikiran Paul Tillich. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan riwayat hidup singkat, pokok-pokok ajaran dan memberi tanggapan terhadap teologinya. Demi tercapainya tujuan dan runtutnya penulisan, maka sistematika yang digunakan adalah pengantar, yang berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan; pembahasan, yang meliputi riwayat hidup singkat, metode berteologi, karyanya yang terkenal, pokok-pokok pikiran atau teologinya, dan tanggapan penulis; penutup, yang berisi kesimpulan.

B. Memahami Sejarah Pemikiran Paul Tillich
Dalam bagian ini penulis akan menguraikan tentang sejarah pemikiran Paul Tillich. Dimulai dengan riwayat hidup, metode berteologi dan pokok-pokok pikiran penting (teologi) dari Paul Tillich.


1. Riwayat Hidup Paul Tillich
Paul Tillich lahir pada tahun 1886 di Propinsi Brandenburg (sekarang Jerman Timur), sebagai putera seorang pendeta Lutheran.[1] Ia belajar teologi di Universitas Berlin dan Breslau. Selama Perang Dunia Pertama, ia masuk tentara sebagai pendeta tentara. Dari tahun 1919, ia mengajar teologi dan filsafat di Universitas Berlin dan Frankfurt. Namun, pada tahun 1933 ia dipecat oleh kaum Nazi karena keterlibatannya dengan gerakan sosialis.[2] Ia pergi ke Amerika Serikat dan (berkat pertolongan Reinhold Niebuhr), ia menjadi profesor filsafat teologi di Union Theological Seminary di New York sampai ia pensiun pada tahun 1955.[3] Kemudian ia mengajar di Harvard dan Chicago University sampai ia meninggal pada tahun 1965.[4] Masa-masa akhir hidup Paul Tillich dipenuhi dengan kesibukan akademis.

2. Metode Berteologi Paul Tillich
Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai metode korelasi. Ia menerangkan arti metodenya sebagai upaya menjelaskan isi iman Kristen melalui pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan jawaban-jawaban teologis dalam ketergantungan timbal-balik.[5] Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tetapi dalam penyataan atau perkenalan-Nya dengan manusia Allah berhubungan dengan manusia. Tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata dari kedua belah pihak, Allah berbuat, manusia menyambutnya, dan Allah menanggapi sambutan manusia itu.[6]

3. Karya Paul Tillich yang Terkenal
Karya Paul Tillich yang terbesar adalah teologi sistematis. Di dalamnya ia menguraikan pendekatan teologinya. Paul Tillich sebagaimana ditulis oleh Tony Lane menjelaskan bahwa:
Suatu sistem teologi diharapkan memenuhi dua kebutuhan asasi, yaitu pernyataan mengenai kebenaran berita Kristen dan penafsiran kebenaran ini bagi setiap generasi baru. Teologi bergerak antara dua kutub, yaitu antara kebenaran kekal dari dasar-dasarnya dan situasi waktu pada zaman kebenaran kekal itu diterima.[7]

Jadi, Paul Tillich menentang ortodoksi[8] yang mencampuradukkan kebenaran-kebenaran kekal dengan cara kebenaran-kebenaran diungkapkan pada zaman tertentu. Ortodoksi mengambil teologi yang sebenarnya ditujukan kepada masa silam dan mengalamatkannya kepada situasi dewasa ini. Namun, masa lampau sudah tidak sesuai lagi dengan situasi masa kini.[9]

4. Pokok-pokok Pikiran Penting (Teologi) dari Paul Tillich
Adapun beberapa pokok pikiran penting dari Paul Tillich, adalah sebagai berikut:
a.  Inti Pergumulan Teologi
Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah sejarah, yaitu sejarah dalam arti yang luas. Sejarah sebagai persoalan mengenai arti dan hakikat segala realitas yang terjadi. Pandangan Paul Tillich mengenai dunia, alam, hidup manusia dan lain sebagainya, ditandai oleh pandangannya tentang sejarah. Ajarannya mengenai segala yang ada (baca: ontologi) bukan statis, melainkan dinamis. Apa saja yang disebut sesuatu, menurut Paul Tillich ingin bereksistensi, ingin memasuki waktu dan perubahan-perubahan di dalam waktu. Karena itu, tidak ada perbedaan antara ide dan eksistensi. Kebenaran berdiri di tengah-tengah segala yang terjadi. Kebenaran tidak pernah selesai. Kebenaran senantiasa bersifat terbuka. Kebenaran senantiasa berusaha melewati dirinya sendiri, senantiasa dalam perjalanan menuju pada perealisasian konkret.[10]

b.  Nilai Teologi
Menurut Paul Tillich, nilai teologi terletak pada apa yang dilakukan oleh teologi bagi pemberitaan. Karena itu, soal bahasa menjadi persoalan pokok dalam teologi. Kita harus mencoba menjadikan pengertian-pengertian yang tradisional yang dipakai gereja dan teologi menjadi pengertian-pengertian yang dapat dimengerti oleh manusia zaman sekarang. Untuk itu diperlukan pembentukan bahasa dan bahan-bahan pengertian yang baru, misalnya pengertian ”Allah” harus dipikirkan dan dirumuskan kembali.[11]

c.   Tujuan Teologi
Bagi Paul Tillich, tujuan teologi adalah membicarakan kebenaran Allah, sehingga manusia merasakan manfaatnya. Untuk itu diperlukan filsafat. Pusat perhatian filsafat dicurahkan pada soal ”ada” (ontologi), apa artinya bahwa sesuatu ada. Segala sesuatu yang dikatakan oleh teologi tentang Allah, dunia, manusia, semuanya itu ada di dalam kawasan ”ada”. Karena itu, tanpa suatu filsafat tidak mungkin teologi dapat menjadikan ”adanya Allah” dapat dimengerti.[12]
d.   Allah
Paul Tillich mengajarkan bahwa Allah dapat ditunjukkan dalam segala yang ada, sekaligus Ia jauh tanpa batas, mengatasi yang ada. Realitas Allah tidak terbatas, sedangkan realitas dunia terbatas. Allah sebagai Allah yang hidup. Ia terus-menerus memenangkan ”yang tidak ada” pada diri-Nya sendiri dan pada makhluk-Nya. Itulah sebabnya, Ia menjadi dasar, tempat segala ”ada” berdiri. Segala ”yang ada” mendapat kekuatan dari Allah untuk berada, sekalipun terkandung di dalamnya ”yang tidak ada”.[13] Pandangan Paul Tillich tentang Allah, dipertegas oleh Tony Lane sebagai berikut:
Nama dari kedalaman yang tidak terhingga dan tidak habis-habisnya, dasar seluruh keberadaan adalah Allah. Kedalaman itu adalah arti dari kata Allah. Dan jika kata itu tidak banyak artinya bagimu, terjemahkanlah dan berbicaralah tentang kedalaman-kedalaman hidupmu, tentang keprihatinanmu yang dasariah, mengenai apa yang anda anggap serius. Mungkin untuk melakukan ini harus anda melupakan segala sesuatu yang tradisional yang pernah anda ajar tentang Allah. Sebab, jika anda tahu bahwa Allah itu berarti kedalaman, anda sudah tahu banyak tentang diri-Nya. Sebab itu, anda tidak bisa menyebut dirimu ateis atau orang tidak percaya.[14]


e.   Manusia
Paul Tillich percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa. Manusia adalah makhluk yang sempurna dalam pengertian bahwa “setiap” manusia mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan Allah dan “dapat” mengkomunikasikan kesadaran tersebut kepada sesamanya. Namun, manusia juga adalah manusia yang berdosa, di mana sebelum perasaan keagamaan berkembang, kuasa dagingnya sudah melumpuhkan segala keinginan baik manusia.[15]

f.    Gereja
Paul Tillich melakukan kritik (baca: protes) terhadap gereja bahwa sampai saat ini, gereja hanya melagukan lagu lama, hanya meneruskan begitu saja kebenaran yang diwarisi dari nenek moyangnya. Menurut Paul Tillich, manusia sekarang telah terasing dari warisan itu. Dengan pemberitaannya yang menggunakan lagu lama itu gereja memaksa orang untuk kembali pada abad-abad  yang lampau. Sudah jelas bahwa perbuatan itu tidak akan berhasil. Orang tidak akan mau mendengarkan gereja.

g.  Alkitab
Alkitab tidak berbeda dari kumpulan formulasi doktrin-doktrin yang dibuat gereja-gereja zaman ini, yang cuma merupakan manifestasi kebudayaan dan hasil dari pergumulan manusia pada zamannya. Menurut Paul Tillich, Alkitab merupakan berita-berita dari mereka yang memiliki pengalaman religius itu. Artinya Alkitab lebih diperlakukan sebagai riwayat pengalaman religius manusia.[16]

C. Tanggapan Penulis terhadap Pokok-pokok Pikiran Paul Tillich
Pendekatan Paul Tillich dalam dunia akademis adalah keprihatinannya yang besar dalam menghubungkan berita Alkitab dengan situasi zamannya. Sehubungan dengan apa yang disebutkan ”prinsip korelasi”, penyanggahan Paul Tillich adalah bahwa harus ada suatu pertalian (baca: korelasi) antara pemikiran dan masalah-masalah manusia dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh iman agamawi. Bagaimana kita menemukan jawaban-jawaban yang kita butuhkan? Menurut penulis, Paul Tillich mendorong kita untuk mendefinisikan ulang makna agama. Agama bukanlah sekadar kepercayaan-kepercayaan atau perbuatan-perbuatan tertentu. Seseorang disebut beragama bilamana dia ”berprihatin secara mendasar”. Keprihatinan yang mendasar adalah keprihatinan yang lebih diutamakan dari keprihatinan kehidupan lainnya.[17] Keprihatinan yang seperti ini mengangkat manusia keluar dari dirinya sendiri.
          Pandangan Paul Tillich tentang persoalan teologi, nilai teologi dan tujuan teologi, lebih menunjukkan sebuah pendekatan terhadap hal yang kita yakini memiliki kekuatan yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan keberadaan kita, keseluruhan realitas manusia, struktur, makna dan tujuan bereksistensi.[18]
Gagasan Paul Tillich mengenai Allah, digambarkan dengan kata ”ada” (being). Allah bukanlah suatu benda. Allah melampaui yang ”ada” dan semua benda. Allah adalah ”ada” itu sendiri, kuasa dari ”ada”, dasar dari ”ada”. Bahkan menurut Paul Tillich, Allah adalah jawaban simbolis manusia bagi usaha pencarian keberanian yang dapat mengatasi kecemasan manusia dalam kedudukannya di perbatasan antara ”ada” dan ”tidak ada”.[19] 
Pemikiran Paul Tillich yang memahami manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa, tentunya penulis sangat setuju. Sebab Alkitab meceritakan bahwa manusia itu baik atau sempurna. Manusia diciptakan oleh Allah. Ia adalah ciptaan. Ia adalah makhluk. Ia bukan Allah. Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk dan bukan titisan atau tetesan dewa-dewi tidak mengurangi harkat dan martabatnya. Sebab semua yang diciptakan oleh Allah itu baik. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:10, 12, 17). “Baik”, di sini berarti baik ditinjau dari tiga dimensi: individual, fungsional dan relasional. Baik secara individual, artinya pada dirinya ia baik, indah, berharga. Baik secara fungsional, artinya ia dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan Sang Pencipta. Baik secara relasional, artinya semua dan setiap makhluk itu terjalin satu sama lain di dalam sistem relasi yang serasi, timbal balik dan saling menunjang. Tidak hanya itu yang dinyatakan oleh Allah mengenai kebaikan manusia. Sebab manusia bukan saja bagian dari ciptaan Allah. Manusia ternyata mempunyai tempat khusus di dalam alam ciptaan Allah itu. Allah sendiri yang menghembuskan nafas kehidupan kepadanya. Oleh Allah, ia bahkan diciptakan sesuai dengan gambar-Nya. Setiap manusia adalah imago Dei; gambar Allah. Manusia itu berdosa. Kita tidak boleh berhenti pada pemahaman tentang kebaikan intrinsik manusia sebagai imago Dei. Optimisme yang berlebihan tentang kebaikan manusia akan berakhir pada kekecewaan yang dalam. Tetapi juga amat berbahaya. Munculnya tirani adalah karena ini. Karena orang menyangka bahwa maksud dan cita-cita baik seorang penguasa itu sudah cukup. Sebab itu wewenang dan kuasanya tidak perlu diawasi ataupun dibatasi. Ini jelas-jelas dikatakan di dalam Alkitab. Manusia adalah gambar Allah yang jatuh ke dalam dosa (Kej. 3). Tetapi bagaimanakah kita menjelaskan tentang hubungan antara kebaikan dan kejatuhan manusia ke dalam dosa? Yang harus dikatakan adalah ini. Baik, memang tidak berarti sempurna. Sebab hanya satu saja yang sempurna, yaitu Sang Pencipta. Baik, memang berarti baik dalam arti yang terbatas. Sebab hanya satu saja yang tak terbatas, yaitu Sang Pencipta. Lalu apakah ketidaksempurnaan serta keterbatasan itu tidak bertentangan dengan kebaikan? Jawabnya adalah: tidak harus. Bahwa pada waktu diciptakan, ketidaksempurnaan dan keterbatasan manusia sebagai makhluk tidak berarti kejahatan. Dan bahwa kebaikan manusia sebagai makhluk hanya dapat dimengerti dalam rangka ketidaksempurnaan dan keterbatasannya.[20]
Kritikan Paul Tillich terhadap gereja, seharusnya mendorong gereja untuk melakukan pembaruan. Gereja baru benar-benar menjadi gereja jika gereja “tidak bisu” dan membutakan diri terhadap kenyataan yang terjadi di tengah dunia. Gereja tidak mengisolasi diri dari realitas dunia. Kehadiran gereja jangan hanya diartikan sebatas dalam hidup “ritual”. Gereja bukan hanya berkaitan dengan hal-hal ritual saja, seperti ibadah, doa, dan liturgi. Namun, dunia yang nyata ini masih jauh lebih besar daripada yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan dunia ritual. Oleh sebab itu, kehadiran gereja jangan disempitkan menjadi pelayanan ibadah saja, sebab dengan demikian gereja yang seharusnya berkarya secara holistik disempitkan untuk berfokus terhadap dunia ritual.[21] Gereja seperti ini adalah gereja yang tidak membebaskan, tidak transformatif. Cara bergereja seperti ini adalah cara bergereja yang membelenggu penganutnya dalam berbagai isolasi, yang cenderung berkutat dengan kesalehan-kesalehan pribadi.
Pemahaman Paul Tillich mengenai Alkitab sebagai riwayat pengalaman religius manusia, tentunya masih harus dipertanyakan. Karena Alkitab seyogianya dipahami sebagai penyataan dari Allah ataupun riwayat tentang tindakan-tindakan Allah dalam sejarah. Sehingga, lebih penting untuk menilai pengalaman religius berdasarkan Alkitab sebagai tolak ukur, daripada mengukur dan menyesuaikan ajaran menurut pengalaman.
Terlepas dari tanggapan penulis di atas, Paul Tillich telah berupaya mencari konsep agama yang sesuai dengan “selera” zamannya. Ia telah berusaha memberi jawaban di tengah situasi pergumulan yang hebat disekitar pendekatan pencerahan, yang mempertanyakan ajaran-ajaran agama.



D. Penutup
Bagian ini berisi kesimpulan. Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam riwayat hidup dan pokok-pokok pikiran penting dari Friedrich, maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1.  Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai metode korelasi.
2.  Karya Paul Tillich yang terbesar adalah teologi sistematis.
3.  Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah sejarah.
4.  Menurut Paul Tillich, nilai teologi terletak pada apa yang dilakukan oleh teologi bagi pemberitaan.
5.  Bagi Paul Tillich, tujuan teologi adalah membicarakan kebenaran Allah, sehingga manusia merasakan manfaatnya.
6.  Teologi Paul Tillich berbicara mengenai beberapa pokok penting yaitu Allah, manusia, gereja dan Alkitab.











DAFTAR PUSTAKA


Conn, Harvie M., Teologia Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.
Darmaputera, Eka, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001.
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004.
Lane, Tony, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993.
Sinaga, Martin Lukito, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000.
Singgih, Emanuel Gerrit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Soedarmo, R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002.
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.







[1] Ayahnya adalah pendeta jemaat yang diangkat menjadi Bishop, yang bertugas mengkoordinir para pendeta dan anggota jemaat yang kurang lebih berjumlah 3.000 orang di wilayah Schoenfliess, sebelah timur Brandenburg. Lihat Martin Lukito Sinaga, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 1.
[2] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 234. Alasan Paul Tillich dipecat, karena dalam bukunya The Socialist Decision ia menyerang Nazisme. Bahkan ia sendiri memelopori pendirian jurnal sosialis. Dalam jurnal itu, ia menyerang Nazisme dengan menekankan bahwa ideologi dan mitos Nazi yang berdasar pada darah dan ras, adalah suatu keadaan kembalinya orang Jerman pada kekafiran, yang membuktikan suatu penolakan akan Tuhan. Lihat Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm. 6.
[3] Tony Lane, op.cit., hlm. 234. Pada masa inilah terbit bukunya yang amat terkenal dengan judul Dynamics of Faith, semacam rumusan populer atas dasar-dasar pikiran Paul Tillich. Lihat Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 10. Untuk penguraian singkat akan perhatian Paul Tillich dan teologinya, dapat dilihat dalam buku karya Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 99-102.
[6] Ibid., hlm. 99. Korelasi ini berlaku bagi pengalaman religius, maupun bagi pengetahuan teologis. Religi dipakai dalam arti yang mutlak positif. Religi diartikan sebagai penerimaan penyataan atau wahyu Allah. Di dalam penyataan atau wahyu Ilahi ini senantiasa ada dua unsur, yaitu unsur yang objektif, ialah Allah menyatakan atau memperkenalkan diri; dan unsur yang subjektif, ialah manusia menerima penyataan atau wahyu Allah itu. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak ada penyataan atau wahyu Allah tanpa religi, dan sebaliknya tiada religi tanpa penyataan atau wahyu Ilahi. Penyataan atau wahyu Ilahi  terjadi di dalam daging, artinya di dalam realitas yang konkret dan historis dalam suatu situasi rohani dan sosial tertentu. Religi itu wadah penyataan atau wahyu Allah diterima. Ada religi alkitabiah disamping religi-religi yang lain. Mengenai korelasi di bidang pengetahuan dikatakan demikian, bahwa korelasi itu direalisasikan dalam kerja timbale-balik antara pertanyaan dan jawaban, artinya Allah menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia, dan berdasarkan kesan yang diterima dari jawaban-jawaban Allah itu, manusia menanyakan lagi hal-hal yang ingin ditanyakan. Lihat ibid., hlm. 99-100.

[7] Tony Lane, op.cit., hlm. 234.
[8] Istilah ortodoksi berasal dari bahasa Yunani, orthos (lurus) dan dogma (ajaran). Jadi, ortodoksi berpegang pada Alkitab, tanpa kritik yang mengurangi kebenaran Alkitab. Lihat R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2002, hlm. 61.
[9] Tony Lane, op.cit., hlm. 234.
[10] Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 97-98.
[11] Ibid., hlm. 98.
[12] Ibid., hlm. 101.
[13] Ibid., hlm. 103-104.
[14] Tony Lane, op.cit., hlm. 235.
[15] Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm. 11. Bnd. juga Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 101-102.
[16] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991, hlm. 109.
[17] Ibid., hlm. 107.
[18] Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 123-124.
[19] Harvie M. Conn, op.cit., hlm. 107-108.
[20] Eka Darmaputera, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 683-689.
[21] Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm.24. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERASAAN DAN PENGALAMAN SEBAGAI DASAR BERAGAMA: MEMAHAMI SEJARAH PEMIKIRAN FRIEDRICH SCHLEIERMACHER

Hari Pancasila dan Hari Kelahiran Mikhael:Kisah Keajaiban dan Kebahagiaan