SEJARAH PEMIKIRAN PAUL TILLICH
SEJARAH PEMIKIRAN PAUL TILLICH
A. Pengantar
Mengenal sesuatu hal tanpa melihat latar belakang dan
hubungan sejarahnya akan menghasilkan pengertian yang sepotong serta tidak akan
diperoleh kebenaran. Berusaha menjangkau hubungan sejarah akan dapat memberikan
pengertian yang lebih kaya dan lengkap, sehingga mendapatkan makna yang
sebenarnya. Peristiwa baru tidak bisa dilepaskan dari peristiwa lama. Zaman
yang baru merupakan kelanjutan dan produk zaman yang lama.
Karena itu, dalam tulisan ini, penulis berupaya
untuk memahami sejarah pemikiran Paul Tillich. Tujuan dari penulisan ini adalah
untuk menguraikan riwayat hidup singkat, pokok-pokok ajaran dan memberi
tanggapan terhadap teologinya. Demi tercapainya tujuan dan runtutnya penulisan,
maka sistematika yang digunakan adalah pengantar, yang berisi latar belakang,
tujuan dan sistematika penulisan; pembahasan, yang meliputi riwayat hidup
singkat, metode berteologi, karyanya yang terkenal, pokok-pokok pikiran atau
teologinya, dan tanggapan penulis; penutup,
yang berisi kesimpulan.
B. Memahami Sejarah Pemikiran Paul Tillich
Dalam bagian ini
penulis akan menguraikan tentang sejarah pemikiran Paul Tillich. Dimulai dengan
riwayat hidup, metode berteologi dan pokok-pokok pikiran penting (teologi) dari
Paul Tillich.
1. Riwayat Hidup Paul Tillich
Paul Tillich lahir pada tahun 1886 di Propinsi
Brandenburg (sekarang Jerman Timur), sebagai putera seorang pendeta Lutheran.[1]
Ia belajar teologi di Universitas Berlin dan Breslau. Selama Perang Dunia
Pertama, ia masuk tentara sebagai pendeta tentara. Dari tahun 1919, ia mengajar
teologi dan filsafat di Universitas Berlin dan Frankfurt. Namun, pada tahun
1933 ia dipecat oleh kaum Nazi karena keterlibatannya dengan gerakan sosialis.[2]
Ia pergi ke Amerika Serikat dan (berkat pertolongan Reinhold Niebuhr), ia
menjadi profesor filsafat teologi di Union Theological Seminary di New York
sampai ia pensiun pada tahun 1955.[3]
Kemudian ia mengajar di Harvard dan Chicago University sampai ia meninggal pada
tahun 1965.[4] Masa-masa akhir hidup Paul
Tillich dipenuhi dengan kesibukan akademis.
2. Metode
Berteologi Paul Tillich
Paul Tillich mengembangkan metode berteologi yang dinamai
metode korelasi. Ia menerangkan arti
metodenya sebagai upaya menjelaskan isi iman Kristen melalui
pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan jawaban-jawaban teologis dalam
ketergantungan timbal-balik.[5]
Metode ini berpangkal pada hubungan antara Allah dan manusia. Keduanya saling
bergantungan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Di dalam keadaan-Nya
yang kekal, Allah memang tidak bergantung kepada manusia, tetapi dalam
penyataan atau perkenalan-Nya dengan manusia Allah berhubungan dengan manusia.
Tidak ada penyataan atau perkenalan Allah yang terjadi tanpa manusia. Hanya
saja hubungan itu bebas dan hidup, hubungan antara pribadi dan pribadi. Suatu
pertemuan antara Allah dan manusia menunjuk pada sesuatu yang riil atau nyata
dari kedua belah pihak, Allah berbuat, manusia menyambutnya, dan Allah
menanggapi sambutan manusia itu.[6]
3. Karya Paul
Tillich yang Terkenal
Karya Paul Tillich yang terbesar adalah teologi sistematis. Di dalamnya ia
menguraikan pendekatan teologinya. Paul Tillich sebagaimana ditulis oleh Tony
Lane menjelaskan bahwa:
Suatu sistem
teologi diharapkan memenuhi dua kebutuhan asasi, yaitu pernyataan mengenai
kebenaran berita Kristen dan penafsiran kebenaran ini bagi setiap generasi
baru. Teologi bergerak antara dua kutub, yaitu antara kebenaran kekal dari
dasar-dasarnya dan situasi waktu pada zaman kebenaran kekal itu diterima.[7]
Jadi, Paul Tillich menentang ortodoksi[8]
yang mencampuradukkan kebenaran-kebenaran kekal dengan cara kebenaran-kebenaran
diungkapkan pada zaman tertentu. Ortodoksi mengambil teologi yang sebenarnya
ditujukan kepada masa silam dan mengalamatkannya kepada situasi dewasa ini.
Namun, masa lampau sudah tidak sesuai lagi dengan situasi masa kini.[9]
4. Pokok-pokok
Pikiran Penting (Teologi) dari Paul Tillich
Adapun beberapa pokok pikiran penting dari Paul Tillich,
adalah sebagai berikut:
a.
Inti Pergumulan
Teologi
Persoalan pokok dalam teologi Paul Tillich adalah
sejarah, yaitu sejarah dalam arti yang luas. Sejarah sebagai persoalan mengenai
arti dan hakikat segala realitas yang terjadi. Pandangan Paul Tillich mengenai
dunia, alam, hidup manusia dan lain sebagainya, ditandai oleh pandangannya
tentang sejarah. Ajarannya mengenai segala yang ada (baca: ontologi) bukan
statis, melainkan dinamis. Apa saja yang disebut sesuatu, menurut Paul Tillich
ingin bereksistensi, ingin memasuki waktu dan perubahan-perubahan di dalam
waktu. Karena itu, tidak ada perbedaan antara ide dan eksistensi. Kebenaran
berdiri di tengah-tengah segala yang terjadi. Kebenaran tidak pernah selesai.
Kebenaran senantiasa bersifat terbuka. Kebenaran senantiasa berusaha melewati
dirinya sendiri, senantiasa dalam perjalanan menuju pada perealisasian konkret.[10]
b.
Nilai Teologi
Menurut Paul Tillich, nilai teologi terletak pada apa
yang dilakukan oleh teologi bagi pemberitaan. Karena itu, soal bahasa menjadi
persoalan pokok dalam teologi. Kita harus mencoba menjadikan
pengertian-pengertian yang tradisional yang dipakai gereja dan teologi menjadi
pengertian-pengertian yang dapat dimengerti oleh manusia zaman sekarang. Untuk
itu diperlukan pembentukan bahasa dan bahan-bahan pengertian yang baru,
misalnya pengertian ”Allah” harus dipikirkan dan dirumuskan kembali.[11]
c.
Tujuan Teologi
Bagi Paul Tillich, tujuan teologi adalah membicarakan
kebenaran Allah, sehingga manusia merasakan manfaatnya. Untuk itu diperlukan
filsafat. Pusat perhatian filsafat dicurahkan pada soal ”ada” (ontologi), apa
artinya bahwa sesuatu ada. Segala sesuatu yang dikatakan oleh teologi tentang
Allah, dunia, manusia, semuanya itu ada di dalam kawasan ”ada”. Karena itu, tanpa
suatu filsafat tidak mungkin teologi dapat menjadikan ”adanya Allah” dapat
dimengerti.[12]
d.
Allah
Paul Tillich mengajarkan bahwa Allah dapat ditunjukkan
dalam segala yang ada, sekaligus Ia jauh tanpa batas, mengatasi yang ada.
Realitas Allah tidak terbatas, sedangkan realitas dunia terbatas. Allah sebagai
Allah yang hidup. Ia terus-menerus memenangkan ”yang tidak ada” pada diri-Nya
sendiri dan pada makhluk-Nya. Itulah sebabnya, Ia menjadi dasar, tempat segala
”ada” berdiri. Segala ”yang ada” mendapat kekuatan dari Allah untuk berada,
sekalipun terkandung di dalamnya ”yang tidak ada”.[13]
Pandangan Paul Tillich tentang Allah, dipertegas oleh Tony Lane sebagai
berikut:
Nama dari
kedalaman yang tidak terhingga dan tidak habis-habisnya, dasar seluruh keberadaan
adalah Allah. Kedalaman itu adalah
arti dari kata Allah. Dan jika kata
itu tidak banyak artinya bagimu, terjemahkanlah dan berbicaralah tentang
kedalaman-kedalaman hidupmu, tentang keprihatinanmu yang dasariah, mengenai apa
yang anda anggap serius. Mungkin untuk melakukan ini harus anda melupakan
segala sesuatu yang tradisional yang pernah anda ajar tentang Allah. Sebab,
jika anda tahu bahwa Allah itu berarti kedalaman, anda sudah tahu banyak
tentang diri-Nya. Sebab itu, anda tidak bisa menyebut dirimu ateis atau orang
tidak percaya.[14]
e.
Manusia
Paul
Tillich percaya bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna, tetapi pada saat
yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa. Manusia adalah makhluk yang
sempurna dalam pengertian bahwa “setiap” manusia mempunyai kesadaran akan
hubungannya dengan Allah dan “dapat” mengkomunikasikan kesadaran tersebut
kepada sesamanya. Namun, manusia juga adalah manusia yang berdosa, di mana
sebelum perasaan keagamaan berkembang, kuasa dagingnya sudah melumpuhkan segala
keinginan baik manusia.[15]
f.
Gereja
Paul Tillich melakukan kritik (baca: protes) terhadap
gereja bahwa sampai saat ini, gereja hanya melagukan lagu lama, hanya
meneruskan begitu saja kebenaran yang diwarisi dari nenek moyangnya. Menurut
Paul Tillich, manusia sekarang telah terasing dari warisan itu. Dengan
pemberitaannya yang menggunakan lagu lama itu gereja memaksa orang untuk
kembali pada abad-abad yang lampau.
Sudah jelas bahwa perbuatan itu tidak akan berhasil. Orang tidak akan mau
mendengarkan gereja.
g.
Alkitab
Alkitab tidak berbeda dari kumpulan formulasi
doktrin-doktrin yang dibuat gereja-gereja zaman ini, yang cuma merupakan
manifestasi kebudayaan dan hasil dari pergumulan manusia pada zamannya. Menurut
Paul Tillich, Alkitab merupakan berita-berita dari mereka yang memiliki
pengalaman religius itu. Artinya Alkitab lebih diperlakukan sebagai riwayat
pengalaman religius manusia.[16]
C. Tanggapan Penulis terhadap
Pokok-pokok Pikiran Paul Tillich
Pendekatan Paul Tillich dalam dunia akademis adalah
keprihatinannya yang besar dalam menghubungkan berita Alkitab dengan situasi
zamannya. Sehubungan dengan apa yang disebutkan ”prinsip korelasi”,
penyanggahan Paul Tillich adalah bahwa harus ada suatu pertalian (baca:
korelasi) antara pemikiran dan masalah-masalah manusia dengan jawaban-jawaban
yang diberikan oleh iman agamawi. Bagaimana kita menemukan jawaban-jawaban yang
kita butuhkan? Menurut penulis, Paul Tillich mendorong kita untuk
mendefinisikan ulang makna agama. Agama bukanlah sekadar
kepercayaan-kepercayaan atau perbuatan-perbuatan tertentu. Seseorang disebut
beragama bilamana dia ”berprihatin secara mendasar”. Keprihatinan yang mendasar
adalah keprihatinan yang lebih diutamakan dari keprihatinan kehidupan lainnya.[17]
Keprihatinan yang seperti ini mengangkat manusia keluar dari dirinya sendiri.
Pandangan
Paul Tillich tentang persoalan teologi, nilai teologi dan tujuan teologi, lebih
menunjukkan sebuah pendekatan terhadap hal yang kita yakini memiliki kekuatan
yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan keberadaan kita, keseluruhan
realitas manusia, struktur, makna dan tujuan bereksistensi.[18]
Gagasan Paul Tillich mengenai Allah,
digambarkan dengan kata ”ada” (being). Allah
bukanlah suatu benda. Allah melampaui yang ”ada” dan semua benda. Allah adalah
”ada” itu sendiri, kuasa dari ”ada”, dasar dari ”ada”. Bahkan menurut Paul
Tillich, Allah adalah jawaban simbolis manusia bagi usaha pencarian keberanian
yang dapat mengatasi kecemasan manusia dalam kedudukannya di perbatasan antara
”ada” dan ”tidak ada”.[19]
Pemikiran Paul Tillich yang memahami manusia adalah makhluk yang
sempurna, tetapi pada saat yang sama manusia juga adalah makhluk yang berdosa,
tentunya penulis sangat setuju. Sebab Alkitab meceritakan bahwa manusia
itu baik atau sempurna. Manusia
diciptakan oleh Allah. Ia adalah ciptaan. Ia adalah makhluk. Ia bukan Allah.
Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk dan bukan titisan atau tetesan dewa-dewi
tidak mengurangi harkat dan martabatnya. Sebab semua yang diciptakan oleh Allah
itu baik. “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej. 1:10, 12, 17). “Baik”,
di sini berarti baik ditinjau dari tiga dimensi: individual, fungsional dan
relasional. Baik secara individual, artinya pada dirinya ia baik, indah, berharga.
Baik secara fungsional, artinya ia dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan
maksud dan tujuan yang ditetapkan Sang Pencipta. Baik secara relasional,
artinya semua dan setiap makhluk itu terjalin satu sama lain di dalam sistem
relasi yang serasi, timbal balik dan saling menunjang. Tidak hanya itu yang
dinyatakan oleh Allah mengenai kebaikan manusia. Sebab manusia bukan saja
bagian dari ciptaan Allah. Manusia ternyata mempunyai tempat khusus di dalam
alam ciptaan Allah itu. Allah sendiri yang menghembuskan nafas kehidupan
kepadanya. Oleh Allah, ia bahkan diciptakan sesuai dengan gambar-Nya. Setiap
manusia adalah imago Dei; gambar Allah. Manusia itu berdosa. Kita tidak boleh berhenti pada pemahaman tentang
kebaikan intrinsik manusia sebagai imago Dei. Optimisme yang berlebihan
tentang kebaikan manusia akan berakhir pada kekecewaan yang dalam. Tetapi juga
amat berbahaya. Munculnya tirani adalah karena ini. Karena orang menyangka
bahwa maksud dan cita-cita baik seorang penguasa itu sudah cukup. Sebab itu wewenang
dan kuasanya tidak perlu diawasi ataupun dibatasi. Ini jelas-jelas dikatakan di
dalam Alkitab. Manusia adalah gambar Allah yang jatuh ke dalam dosa (Kej. 3).
Tetapi bagaimanakah kita menjelaskan tentang hubungan antara kebaikan dan
kejatuhan manusia ke dalam dosa? Yang harus dikatakan adalah ini. Baik, memang
tidak berarti sempurna. Sebab hanya satu saja yang sempurna, yaitu Sang
Pencipta. Baik, memang berarti baik dalam arti yang terbatas. Sebab hanya satu
saja yang tak terbatas, yaitu Sang Pencipta. Lalu apakah ketidaksempurnaan
serta keterbatasan itu tidak bertentangan dengan kebaikan? Jawabnya adalah:
tidak harus. Bahwa pada waktu diciptakan, ketidaksempurnaan dan keterbatasan
manusia sebagai makhluk tidak berarti kejahatan. Dan bahwa kebaikan manusia
sebagai makhluk hanya dapat dimengerti dalam rangka ketidaksempurnaan dan
keterbatasannya.[20]
Kritikan Paul Tillich terhadap gereja,
seharusnya mendorong gereja untuk melakukan pembaruan. Gereja baru benar-benar
menjadi gereja jika gereja “tidak bisu” dan membutakan diri terhadap kenyataan
yang terjadi di tengah dunia. Gereja tidak mengisolasi diri dari realitas
dunia. Kehadiran gereja jangan hanya diartikan sebatas dalam hidup “ritual”.
Gereja bukan hanya berkaitan dengan hal-hal ritual saja, seperti ibadah, doa,
dan liturgi. Namun, dunia yang nyata ini masih jauh lebih besar daripada yang
diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan dunia ritual. Oleh sebab itu, kehadiran
gereja jangan disempitkan menjadi pelayanan ibadah saja, sebab dengan demikian
gereja yang seharusnya berkarya secara holistik disempitkan untuk berfokus
terhadap dunia ritual.[21] Gereja seperti
ini adalah gereja yang tidak membebaskan, tidak transformatif. Cara bergereja
seperti ini adalah cara bergereja yang membelenggu penganutnya dalam berbagai
isolasi, yang cenderung berkutat dengan kesalehan-kesalehan pribadi.
Pemahaman Paul Tillich mengenai Alkitab
sebagai riwayat pengalaman religius manusia, tentunya masih harus
dipertanyakan. Karena Alkitab seyogianya dipahami sebagai penyataan dari Allah
ataupun riwayat tentang tindakan-tindakan Allah dalam sejarah. Sehingga, lebih
penting untuk menilai pengalaman religius berdasarkan Alkitab sebagai tolak
ukur, daripada mengukur dan menyesuaikan ajaran menurut pengalaman.
Terlepas dari tanggapan penulis di
atas, Paul Tillich telah berupaya mencari konsep agama yang sesuai dengan
“selera” zamannya. Ia telah berusaha memberi jawaban di tengah situasi
pergumulan yang hebat disekitar pendekatan pencerahan, yang mempertanyakan
ajaran-ajaran agama.
D. Penutup
Bagian ini berisi kesimpulan. Berdasarkan apa yang telah
diuraikan dalam riwayat hidup dan pokok-pokok pikiran penting dari Friedrich,
maka penulis membuat beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1.
Paul Tillich mengembangkan metode
berteologi yang dinamai metode korelasi.
2.
Karya Paul Tillich yang terbesar adalah
teologi sistematis.
3.
Persoalan pokok dalam teologi Paul
Tillich adalah sejarah.
4.
Menurut Paul Tillich, nilai teologi
terletak pada apa yang dilakukan oleh teologi bagi pemberitaan.
5.
Bagi Paul Tillich, tujuan teologi
adalah membicarakan kebenaran Allah, sehingga manusia merasakan manfaatnya.
6.
Teologi Paul Tillich berbicara mengenai
beberapa pokok penting yaitu Allah, manusia, gereja dan Alkitab.
DAFTAR PUSTAKA
Conn, Harvie M., Teologia Kontemporer, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.
Darmaputera,
Eka, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2001.
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2004.
Lane, Tony, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 1993.
Sinaga, Martin Lukito, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2000.
Singgih, Emanuel
Gerrit, Reformasi dan Transformasi
Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Soedarmo,
R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2002.
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003.
[1]
Ayahnya adalah pendeta
jemaat yang diangkat menjadi Bishop, yang bertugas mengkoordinir para pendeta
dan anggota jemaat yang kurang lebih berjumlah 3.000 orang di wilayah
Schoenfliess, sebelah timur Brandenburg. Lihat Martin Lukito Sinaga, Paul Tillich Teologi & Dinamika Iman, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2000, hlm. 1.
[2] Tony Lane, Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1993, hlm. 234. Alasan Paul Tillich dipecat, karena dalam
bukunya The Socialist Decision ia
menyerang Nazisme. Bahkan ia sendiri memelopori pendirian jurnal sosialis.
Dalam jurnal itu, ia menyerang Nazisme dengan menekankan bahwa ideologi dan
mitos Nazi yang berdasar pada darah dan ras, adalah suatu keadaan kembalinya
orang Jerman pada kekafiran, yang membuktikan suatu penolakan akan Tuhan. Lihat
Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm.
6.
[3] Tony Lane, op.cit., hlm. 234. Pada masa inilah
terbit bukunya yang amat terkenal dengan judul Dynamics of Faith, semacam rumusan populer atas dasar-dasar pikiran
Paul Tillich. Lihat Martin Lukito Sinaga, op.cit.,
hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 10. Untuk penguraian singkat akan perhatian Paul
Tillich dan teologinya, dapat dilihat dalam buku karya Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2004, hlm. 99-102.
[6] Ibid., hlm. 99. Korelasi ini berlaku bagi pengalaman religius,
maupun bagi pengetahuan teologis. Religi dipakai dalam arti yang mutlak
positif. Religi diartikan sebagai penerimaan penyataan atau wahyu Allah. Di dalam
penyataan atau wahyu Ilahi ini senantiasa ada dua unsur, yaitu unsur yang
objektif, ialah Allah menyatakan atau memperkenalkan diri; dan unsur yang
subjektif, ialah manusia menerima penyataan atau wahyu Allah itu. Keduanya
tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak ada penyataan atau wahyu Allah tanpa
religi, dan sebaliknya tiada religi tanpa penyataan atau wahyu Ilahi. Penyataan
atau wahyu Ilahi terjadi di dalam
daging, artinya di dalam realitas yang konkret dan historis dalam suatu situasi
rohani dan sosial tertentu. Religi itu wadah penyataan atau wahyu Allah
diterima. Ada religi alkitabiah disamping religi-religi yang lain. Mengenai
korelasi di bidang pengetahuan dikatakan demikian, bahwa korelasi itu
direalisasikan dalam kerja timbale-balik antara pertanyaan dan jawaban, artinya
Allah menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia, dan berdasarkan kesan yang
diterima dari jawaban-jawaban Allah itu, manusia menanyakan lagi hal-hal yang
ingin ditanyakan. Lihat ibid., hlm.
99-100.
[7] Tony Lane, op.cit., hlm. 234.
[8] Istilah ortodoksi berasal dari
bahasa Yunani, orthos (lurus) dan dogma (ajaran). Jadi, ortodoksi
berpegang pada Alkitab, tanpa kritik yang mengurangi kebenaran Alkitab. Lihat
R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2002, hlm. 61.
[9] Tony Lane, op.cit., hlm. 234.
[10] Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 97-98.
[11] Ibid., hlm. 98.
[12] Ibid., hlm. 101.
[13] Ibid., hlm. 103-104.
[14] Tony Lane, op.cit., hlm. 235.
[15] Martin Lukito Sinaga, op.cit., hlm. 11. Bnd. juga Harun
Hadiwijono, op.cit., hlm. 101-102.
[16] Harvie M. Conn, Teologia Kontemporer, Malang: Seminari
Alkitab Asia Tenggara, 1991, hlm. 109.
[17] Ibid., hlm. 107.
[18] Bnd. Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2003, hlm. 123-124.
[19] Harvie M. Conn, op.cit., hlm. 107-108.
[20] Eka Darmaputera, “Makna Etis Kehadiran Kristen”, dalam Martin L. Sinaga dkk (peny.), Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 2001, hlm. 683-689.
[21]
Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi dan
Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21, Yogyakarta: Kanisius,
1997, hlm.24.
Bisa ne jadi referensi... ijin copas boleh bu?
BalasHapusBisa ne jadi referensi... ijin copas boleh bu?
BalasHapus